Tja Kian Liong alias William Soeryadjaya lahir di Majalengka, Jawa Barat. Dia pendiri PT Astra International, konglomerasi yang memiliki jejaring bisnis di Tanah Air, mulai dari otomotif, jasa keuangan, agrobisnis, hingga jasa infrastruktur.
Imperium Astra bermula pada 1957. Kala itu, bersama dua orang saudaranya, Tjia Kian Tie dan Benyamin Arman Soeryadjaya, William mendirikan usaha dagang kecil-kecilan. Awalnya, sektor bisnis yang digelutinya adalah perdagangan minuman ringan dengan merek dagang Prem Club. Dari bisnis inilah, keuntungan yang didapat dijadikan sebagai modal tambahan usaha. Jenis dagangan tiga saudara itu pun bertambah hingga ke ekspor kopra, minyak sereh, dan kenanga. Sejak itu, kesuksesan terus mewarnai perjalanan Astra. Pada tahun 1957, Astra International resmi berdiri. Lalu, di tahun 1960, usaha Astra mulai merambah ke impor alat berat, seperti mesin dan lainnya. Puncaknya, pada 1968, Astra dipercaya menjadi pemasok 800 unit truk merek Chevrolet dari Amerika Serikat. Inilah tonggak sejarah masuknya Astra di bisnis otomotif.
Sejumlah prinsipil otomotif asing pun tergiur mengadakan kerja sama dengan Astra. Pada tahun 1970, Toyota Motors Jepang menunjuk Astra untuk mendistribusikan mobil merek Toyota. Tak mau ketinggalan, pihak Honda dan Fuji Xerox (produsen mesin fotokopi) dari Negri Matahari Terbit itu juga menunjuk Astra sebagai agen produknya di Indonesia.
Pada 1970, sedikitnya 72 perusahaan telah bernaung di bawah bendera Astra. Bahkan, pada 1992, jumlahnya membengkak menjadi sekitar 300 perusahaan yang bergerak di berbagai sektor. Sayangnya, di tahun itu pula. Pada 14 Desember 1992, pemerintah melikuidasi Bank Summa, milik Edward Soeryadjaya (putra sulung William), lantaran terbelit utang. Salah satu pinjaman Edward adalah ke Handelsbank Jerman sebanyak 150 juta DM.
Di kala Summa krisis. William turun tangan membantu kesulitan Edward. Tak segan-segan, William menjual sahamnya di Astra. Bahkan, dia terpaksa harus menjual di bawah harga pasar (ketika itu dari Rp 10.000 menjadi Rp 7.000 sampai 8.000 per saham). Sejumlah konglomerat nasional khabarnya mereka sengaja merekayasa kejatuhan Bank Summa, karena ingin menguasai saham Astra. Pada tahun 1996, kerajaan bisnis Astra telah berada dalam genggaman “The Big Five”. Maka, tercatatlah Putra Sampoerna yang menguasai (14,67 persen), Bob Hasan (8,83 persen), Prajogo Pangestu (10,68 persen), Toyota Jepang (8,26 persen), Kelompok Salim (8,19 persen), dan Usman Atmadjaja (5,99 persen). Sisanya tersebar di tangan publik.
Namun konsorsium itu tak lama menguasai Astra. Astra krisis karena aset Astra dijadikan jaminan utang para konglomerat itu di sejumlah bank yang dirawat Badan Penyelenggara Perbankan Nasional (BPPN). Pada tahu 2000, di bawah kepemilikan BPPN, Astra dikomandani Rini Soewandi. Performanya kala itu sudah lumayan membaik.
Akhirnya, pada maret 2003, sekitar (39,5 persen) saham Astra dikuasai oleh konsorsium Cycle dan Carriage Mauritius yang menjadi pemenang ketika BPPN menjual sahan entitas bisnis ini. Pada tahun 2004, kepemilikan C&C Mauritius si Astra dibeli oleh Jardine Cycle dan Carriage (JCC). Lalu, kepemilikan saham JCC di Astra meningkat hingga (50,11 persen).
Selain menjual dan merakit mobil, Astra juga memiliki beberapa anak perusahaan. Di lembaga pembiayaan, total nilai pembiayaan PT Federal International Finance, Astra Credit Companies, dan PT Toyota Astra Financial Services sebesar Rp 19,1 triliun. Sementara PT Astra Agro Lestari yang bergerak di bidang penanaman, pemanenan, dan pemrosesan kelapa sawit, membukukan laba bersih Rp 787 miliar pada 2006. perusahaan ini memiliki 36 perkebunan sawit yang tersebar di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi dengan total lahan tanah lebih dari 216 ribu hektare, 17 pabrik pengolah CPO, dan sebuah kilang di Medan.